Kota Medan adalah kota yang dibangun seiring dengan berkembangnya perkebunan di Sumatera Timur. Wilayah kota Medan saat ini dahulu dikenal sebagai Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup kawasan di selang kedua sungai tersebut. Secara semuanya jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkualitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama di muara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang bersumber dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda yang diprakarsai oleh Jacob Nienhuys mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus mengembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Dunia Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, tidak jauh Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik, sekaligus memulai didatangkannya buruh Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, dan Malaysia, yang kemudian disusul oleh kedatangan buruh Jawa secara besar-besaran, mengakibatkan jumlah penduduk kota Medan saat ini didominasi oleh suku Jawa yaitu sebesar 33,03% dari keseluruhan suku lainnya.
Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi kawasan yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia anggota barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang masyhur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di kawasan Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.
Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di kawasan Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat aktivitas perdagangan tembakau yang sudah sangat lebar dan mengembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”. Dengan demikian “Kampung Medan Putri” menjadi semakin ramai dan selanjutnya mengembang dengan nama yang semakin diketahui sebagai “Kota Medan”.
Karena pembentukan kota baru yang semakin ramai ini lah kemudian Kota Medan terbentuk menjadi “melting point” beberapa budaya asing dan bumiputera yang sudah ada sebelumnya di wilayah ini, menjadikan Medan sebagai kota dengan latar belakang multi-etnis yang kemudian berkembang dengan beberapa usaha ekonomi kreatif yang unik dan bernilai jual tinggi, terutama di bidang kuliner, fashion, kriya, musik, dan seni pertunjukan yang sudah berkembang sejak kota ini mulai berdiri.
Seiring dengan jalannya sejarah kemerdekaan dan nasionalisasi pemerintahan Indonesia, kota Medan akhirnya menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara dan menjadikannya sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, sekaligus kota terbesar Indonesia di luar pulau Jawa. Kota Medan yang saat ini tidak lagi menggantungkan pendapatan daerahnya dari sektor perkebunan. Perlahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Medan bergeser menjadi pemasukan melalui pajak restoran, pajak penerangan jalan, dan pajak bumi dan bangunan. Berdasarkan laporan BPKAD Kota Medan tahun 2019, dari target PAD Kota Medan di angka Rp. 2.312.760.384.068,- retribusi pajak restoran menyumbangkan 88,13 persen dari PAD kota Medan, sementara pajak reklame sebagai sumber PAD terendah menyumbangkan 11,86 persen. Berdasarkan fakta ini, wajar apabila subsektor kuliner menjadi unggulan di bidang ekonomi kreatif di kota Medan.
Data lainnya yang penting sebagai penggerak ekonomi kreatif di kota Medan adalah, sebaran penduduk yang masih terkonsentrasi di Kota Medan. Meskipun luas geografis hanya sebesar 0,36 % wilayah Sumut, ibukota provinsi ini dihuni oleh sekitar 2,44 juta orang atau 16,46 % dari 14,8 juta jiwa penduduk Sumut.
Tampilkan lebih lengkap