KISAH BUNDENGAN

ALAT MUSIK PENGGEMBALA BEBEK DARI WONOSOBO DAN PERKEMBANGANNYA MENJADI BAGIAN MUSIK KONTEMPORER INDONESIA

Indonesia memiliki berbagai kekayaan budaya, yang jika ditelisik satu per satu merupakan perwujudan dari kreativitas pembuatnya. Kreativitas sendiri secara umum dapat dimaknai sebagai kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Tidak harus sesuatu yang megah, kreativitas dalam budaya Indonesia dapat ditemukan dan lahir dari kesederhanaan hidup sehari – hari, salah satunya adalah alat musik Bundengan yang kami temui saat melakukan uji petik di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Meskipun keberadaaan alat musik ini sudah cukup tua yaitu sejak abad ke 12 berdasarkan tulisan pada kitab Wreta Sancaya, namun di luar daerah Wonosobo tak banyak yang mengenal alat musik tradisional Bundengan ini. Kunst, seorang ethnomusicologist dari Belanda dalam eksplorasinya di tahun 1930 menemukan sekelompok penggembala bebek yang duduk saling membelakangi membentuk lingkaran bersenandung dengan iringan musik dari tudung yang melindungi kepala dan punggung mereka sembari beristirahat menunggu hujan reda.  

Penelusurannya lebih lanjut menemukan bahwa Kowangan, tudung yang dipakai oleh para penggembala bebek tersebut, berkembang menjadi Bundengan dengan penambahan ijuk yang disusun secara vertikal dan horisontal. Ijuk kemudian diganti dengan senar raket dan diberi tambahan tiga inggis (bilah bambu). Dimainkan dengan 2 tangan dengan cara dipetik senarnya dan disentil lapisan inggisnya, Bundengan menjadi alat musik yang canggih karena saat dimainkan akan terdengar alunan nada seperangkat alat gamelan. Ragam bunyi yang dihasilkan bisa menyerupai suara kendang, suara ciblon, suara bem serta perangkat gamelan lain. Diduga pembuat Bundengan terinsipirasi oleh gaung gamelan yang memang pada saat itu lebih banyak dimainkan di kerajaan atau di rumah – rumah bangsawan. 

Bundengan kemudian makin berkembang di Wonosobo dengan menjadi bagian dari Seni Pertunjukan sebagai alat musik pengiringnya. Ditengarai pada tahun 1968, alat musik ini mulai digunakan untuk mengiringi tari Kuda Kepang dan Lengger dengan membawakan lagu–lagu pengiring seperti Kebo Giro, Gones, Sumiyar, Kinayakan, Bribil ataupun Cuthang. Terdapat beberapa pemain dan pembuat Bundengan, dengan salah satu nama yang terkenal adalah Bapak Barnawi. Namun pada kenyataannya hingga saat ini tidak banyak warga yang bisa membuat dan memainkan Bundengan, entah karena kurang tertarik atau karena memang proses pembuatan dan belajarnya yang cukup sulit dan membutuhkan kesabaran.

Berangkat dari keprihatinan akan mulai langkanya pembuat dan pemain Budengan, serta banyak warga Wonosobo sendiri yang mulai tidak mengenali alat musik tersebut maka mulai bermunculan beberapa tokoh dari Seni Pertunjukan yang berinisiatif untuk mulai kembali mengenalkan dan melestarikan Budengan. Salah satunya adalah Ibu Mulyani yang dikenal dengan panggilan akrabnya Bu Mul, pengajar di SMPN 2 Selomerto Wonosobo dan penggiat Sanggar Ngesti Laras, yang sejak tahun 2015 giat mengajarkan pembuatan dan cara memainkan alat musik Bundengan pada murid–muridnya. Bersama dengan Said Abdullah dan Luqmanul Chakim, Ibu Mul berangkat ke Sydney dan Melbourne, Australia, untuk mengenalkan Bundengan pada festival yang diselenggarakan di sana.

Dalam perkembangannya, mulai banyak kerjasama akademis dengan pihaknya, bukan hanya dari kalangan perguruan tinggi dalam negeri tetapi juga dari luar negeri, khususnya Australia, dimana salah satunya adalah Monash University, yang tertarik untuk meneliti pembuatan Bundengan dan potensi Bundengan sebagai musik kamar. Salah satu usaha pelestarian lainnya adalah digarapnya film dokumenter Aura Magis Musik Bundengan yang dirilis awal Februari 2016. Film dokumenter ini merupakan kolaborasi para seniman dengan pemerintah daerah Wonosobo. Di luar kegiatan berbagai pelestarian tersebut, dengan memanfaatkan kekuatan media sosial, anak–anak muda penggiat Bundengan mulai menggalakkan penggunaan tagar #Bundengan dengan tujuan agar Budengan makin dikenal banyak orang dan perkembangannya dapat diikuti oleh berbagai pihak. Karena dari segi geografis, Wonosobo memang masih memiliki akses fisik yang terbatas.

Semangat untuk kembali mempelajari, mengenalkan dan melestarikan Bundengan ini patut diapresiasi semikian juga strategi yang memanfaatkan kekuatan edukasi melalui sekolah serta kerjasama dengan universitas, selain juga keputusan untuk memanfaatkan kekuatan media sosial melalui tagar #Budengan. Kreativitas tentu tidak hanya berhenti pada satu titik, melalui proses belajar ditemukan pula berbagai perbaikan. Dari perbaikan sederhana yaitu mengganti ijuk dengan senar, saat ini Said dan Luqman tertarik untuk menyempurnakan anatomi dari alat musik Bundengan serta mencoba menampilkan Bundengan sebagai bagian dari musik kontemporer. Menarik untuk dilihat dari perjalanan sejarah bagaimana sebuah alat musik yang dibuat dari bahan – bahan yang sederhana oleh penggembala bebek, berkembang menjadi identitas Wonosobo dan kini mulai mendapat tempat dalam dunia musik kontemporer.

Semangat untuk terus belajar dengan merangkul generasi muda menjadi kunci perkembangan Bundengan. Semoga semangat dan kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi aktor–aktor kreatif lain di daerah yang tengah berjuang untuk kembali mengenali dan memperkenalkan ulang warisan budaya setempat yang begitu kaya dan tentunya kreatif.

Bagikan

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on email